Gelora Badai
(1898)
Oleh: Kate Chopin
Oleh: Kate Chopin
I
Daun-daun pohon diam tak bergerak hingga bahkan seorang Bibi sekalipun yakin hujan akan segera turun. Bobinôt, yang terbiasa berbicara segala sesuatu tentang kesempurnaan dengan puteranya, menyuruh anak itu memperhatikan awan mendung yang bergulung dari arah timur membawa ancaman hujan, ditemani oleh dentuman guntur yang mengancam. Mereka berada di toko Friedheimer dan memutuskan untuk tetap di dalam toko hingga badai itu berhenti. Mereka duduk dekat pintu di atas dua tong kosong. Bibi berusia empat tahun dan sangat cerdik.
“Mama akan ketakutan,” ujarnya dengan mata mengerling.
“Dia akan menutup rumah. Semoga Sylvie ada di sana membantunya.” Jawab Bobinôt meyakinkan.
“Tidak. Sylvie tidak di sana. Dia di sana kemarin,” seru Bibi.
Bobinôt bangkit dari duduknya berjalan menuju ke rak membeli sekaleng udang kesukaan Calixta. Kemudian dia kembali ke tempat duduknya di atas tong dan duduk dengan diam sambil memegang kaleng udang itu sementara badai berhembus kencang di luar toko. Badai itu menyebabkan toko yang berbahan bangunan kayu itu berguncang dan nampaknya badai itu memporak porandakan galur-galur kebun di ladang yang jauh dari situ. Bibi meletakkan tangan mungilnya di atas lutus ayahnya tanpa merasa takut.
II
Calixta, yang sedang berada di rumah, tidak merasa sedikit kekhawatiranpun atas keselamatan mereka. Dia duduk di tepi jendela sambil menjahit di atas mesin jahitnya dengan semangat-semangatnya. Dia sangat sibuk sehingga tidak menyadari badai akan datang. Dia merasa kepanasan dan sesekali mengusapkan sebuah lap ke wajahnya yang dibanjiri oleh buliran-buliran keringatnya yang bertetesan. Dia melepaskan saque putih yang dililitkan di lehernya. Hari mulai gelap dan tiba-tiba dia menyadari badai akan datang. Dia bangkit dari mesin jahitnya dan sambil tergesa-gesa menutup seluruh jendela dan pintu rumah.
Di luar rumahnya, di serambi kecil depan rumah, dia menjemur pakaian minggu Bobinôt; dia bersegera ke sana mengangkat jemuran itu sebelum hujan turun. Ketika dia melangkah keluar rumah, Alcée Laballière menunggang kudanya di depan gerbang. Dia jarang sekali melihatnya semenjak pernikahannya, dan tak pernah melihatnya sendirian. Dia berdiri di sana memegang mantel M'sieur Alcée. di tangannya, tetesan air hujanpun mulai berjatuhan. Alcée menunggangi kudanya menuju ke arah tempat teduh di tepi atap gerbang di mana beberapa ekor ayam telah merunduk di sana dan juga ada garu yang ditumpuk pada bagian sudut tempatnya berteduh tersebut.
“Boleh aku numpang berteduh di serambi rumahmu hingga badai ini berhenti, Calixta?” tanya pria itu.
“Silahkan M'sieur Alcée.”
Suara pria itu dan suaranya mengejutkanya seolah baru tersadar dari kesurupan, dan segera dia meraih rompi Bobinôt. Alcée naik ke atas serambi rumah, memungut celana dan menangkap jaket rajut Bibi yang diterbangkan oleh hembusan angin. Dia menolak untuk masuk ke dalam rumah, tapi tak lama kemudian dia mungkin sama saja dengan tidak berteduh: air hujan berjatuhan dengan deras dan memercikkan air di atas baju berkudanya. Karenanya dia ikut masuk ke dalam rumah tanpa lupa menutup pintu. Bahkan perlu menaruh sesuatu di bawah pintu supaya air hujan tidak masuk
“Ya ampun! Hujannya deras sekali! Sudah dua tahun tidak ada hujan sederas ini,” seru Calixta sambil membuka gulungan sebuah tas dan Alcée membantunya meletakkannya di bawah celah pintu.
Perempuan itu tampak lebih berisi daripada lima tahu sebelumnya ketika dia menikah; tapi raut kegembiraan di wajahnya masih tetap sama. Mata birunya masih mempertahankan keindahanyya, dan rambut pirangnya, kusut tergerai ditiup angin dan hujan, lebih kusut dari kerutan telinga dan pelipisnya.
Hujan deras mengguyur atap rumah yang sirap dan rendah berbunyi berisik seolah berusaha membuat lubang masuk di atap itu untuk menenggelamkan mereka yang berada di bawahnya. Mereka berada di ruang makan—ruang tamu—sekaligus ruang serba guna. Dari situ mereka bisa melihat kamar tidur Calixta, dengan ranjang Bibi di sebelah ranjangnya. Pintu terbuka lebar, dan kamar itu dengan warna putih, ranjang besar, dan jendelanya yang tertutup tampak temaram dan mencurigakan.
Alcée menghempaskan tubuhnya di atas kursi goyang dan Calixta dengan gugup merapikan hamparan kain katun yang telah di jahitnya.
“Jika hujan deras ini turun cukup lama, hanya Tuhan yang tahu apakah pohon-pohon tidak akan tumbang.”
“Apa perlumu dengan pohon-pohon itu?”
“Banyak! Bobinôt dan Bibi berada di luar sama di tengah badai jika dia tidak berteduh di toko Friedheimer!”
“Mudah-mudahan Bobinôt tidak punya nyali nekat keluar ke jalanan di tengah badai topan ini.”
Calixta beranjak dan berdiri di jendela dengan wajah yang tampak sangat khawatir sambil mengusap tetesan air hujan yang mengembun di kaca jendela. Alcée berdiri di sampingnya dekat jendela sembari menatap keluar melalui bahu perempuan itu. Guyuran deras air hujan menggempur pondok-pondok yang tampak dari kejauhan serta menyelimuti hutan dengan kabut tebal. Kilat sabung menyabung tanpa henti. Petir menyambar sebatang pohon beri cina di tepi ladang. Pohon yang tersambar petir itu tampak berapi menyala dan tumbang menimpa setiap apa yang berada di dekat tempat dia berdiri.
Calixta menutup mata dengan telapak tangannya, dan menangis dia mundur terhuyung-huyung. Alcée yang berdiri tepat di belakangnta, sontak menarik Calixta ke pelukan dadanya yang melingkari tubuh perempuan itu.
“Bonté” ujarnya lirih, sambil melepaskan dirinya dari pelukan Alcée dan beranjak mundur dari jendela, “rumah ini akan bernasib seperti pohon itu juga! Andai aku tahu Bibi ada dimana!” Dia tak bisa menenangkan dirinya dan tak mau duduk. Alcée mengenggam bahunya sembari menatap wajah perempuan itu. Sentuhan hangat yang dirasakan Calixta ketika pria itu menariknya ke pelukannya secara tiba-tiba menggetarkan tubuhnya dan membangkitkan hasrat yang dulu pernah dia rasakan dan nafsu yang ingin dia puaskan.
“Calixta,” ujar pria itu, “Jangan takut. Semua akan baik-baik saja. Petir takkan menyambar ke sini karena rumah ini terlalu rendah dan banyak pohon yang melindungi. Lihat! tenangkan dirimu.” Dia membelai rambut perempuan itu dari belakang wajahnya yang hangat dan dibasahi keringat karena khawatir. Bibirinya merah dan basah bak delima rekah. Leher jenjangnya yang putih mulus dan sekilas bayangan dari dadanya yang tampak keras dan menyesaki bajunya membuat Alcée gelisah tak tenang. Ketika Calixta menatap sekilas kepadanya, raut takut di mata birunya perlahan memudar kini menampakkan hasrat dirinya terhadap Alcée. Alcée menatap dalam ke matanya dan tanpa ragu memagut bibir Calixta dalam ciuman penuh nafsu. Ciuman itu mengingatkannya tentang Assumption.
“Kau masih ingat Assumption, Calixta?” tanyanya dengan suara berbisik dalam deraan birahi. Oh! Calixta mengingatnya; karena di Assumption Alcée juga menciumnya penuh nafsu seperti saat itu; hingga birahi hampir menguasainya, tetapi Alcée terpaksa meninggalkannya di tempat itu untuk menjaga harga dirinya. Seandainya dia bukan seorang perawan suci waktu itu, dia masih tetap luhur: seorang makhluk yang tengah didera birahi yang ketakberdayaanya telah memberdayakannya, mempertahankan kehormatan yang mesti dijaganya. Tapi kini, bibirnya merekah bebas untuk dia nikmati, begitupun leher mulusnya yang jenjang serta payudaranya yang bulat mulus.
Mereka tidak mempedulikan badai yang berhembus kencang di luar rumah, dan dentuman guntur menemaninya tertawa manja di pelukan pria itu. Dia adalah rahasia yang terungkap dari kamar yang temaram dan mencurigakan itu; seputih ranjang dimana dia berbaring. Tubuhnya yang sintal pertama kali merasakan apa yang dia ingin dapatkan seperti teratai yang diundang mentari berbagi terpaan panasnya dan memberi harum pada kehidupan kekal dunia.
Tumpukan deraan birahinya yang tanpa salah seperti nyala api yang menghunjam dan ke dalam nafsu terdalam Alcée yang tak pernah tersentuh sebelumnya. Ketika dia membelai dadanya mereka melenakan diri mereka dalam getaran nikmat nafsu. Bibirnya mengecup mulut Calixta yang terasa manis bak telaga kenikmatan. Dan ketika dia mencumbuinya, mereka merasa seperti lenyap melebur bersama di perbatasan misteri kehidupan.
Dengan jantungnya yang berdebar kencang, Alcée bertindih memacu tubuhnya di atas tubuh Calixta yang terengah, linglung, dan lemas. Dengan salah satu tanganya, Calixta mendekap kepala pria itu dan bibirnya dengan lembut mendarat sapuan pada kening Alcée. Sementara tangannya yang sebelah lagi ikut bergerak bersama irama gerakan tubuh kekar yang menindihnya itu.
Raungan guntur mulai terdengar menjauh dan berlalu. Hujan mulai reda dengan tetesan-tetesan pelan merintik di atas atap mengundang mereka tidur karena kelelahan yang mereka alami. Tapi mereka tidak berani tidur dan berserah pada deraan lelah.
III
Hujan berhenti; dan mentari kembali bersinar menerpa dedaunan menjadikannya seperti istana permata. Calixta, dari serambi, menyaksikan Alcée menunggang kudanya pergi dari rumah itu. Dia menoleh dan tersenyum pada Calixta dengan wajah berseri-seri; dan Calixta mendongakkan dagu manisnya sambil tertawa riang.
Bobinôt dan Bibi, yang berjalan pulang dengan susah payah, berhenti sejenak di selokan bawah tanah merapikan diri.
“Astaga! Bibi. Mamamu pasti marah! Kau mesti memakai celana bagus itu. Lihat! lumpur di kemejamu! Bagaimana bisa ada lumpur di kemejamu, Bibi? Aku tak pernah melihatmu begini?” Bibi tampak seperti sosok yang menyedihkan. Bobinôt tampak cemas ketika dia berusaha menghilangkan dari dirinya serta anaknya tanda-tanda bahwa mereka telah menempuh perjalanan yang sulit melalui daratan yang basah berlumpur. Dia membasuh lumpur di kaki Bibi dan dengan menggunakan ranting dia mengikis jejak-jejak tanah berlumpur pada sepatunya. Kemudian, bersiap-siap bertemu dengan istri yang sangat jelimet, mereka masuk diam-diam dari pintu belakang.
Calixta sedang menyiapkan makan malam. Dia telah merapikan meja makan dan menuangkan kopi ke atas wadah di tungku. Dia terperanjat ketika mereka masuk.
“Oh, Bobinôt! Kau kembali! Aku sangat khawatir. Di mana kau ketika hujan? Dan Bibi? Dia tidak terguyur hujankan? Dia tidak terluka?” Dia memeluk Bibi dan menyiumnya dengan haru. Alasan yang telah dikarang Bobinôt selama di jalan pulang hilang begitu saja karena Calixta melihatnya tidak kebasahan dan tidak berkata apa-apa selain ekspresi kepuasan karena mereka sampai dengan selamat.
“Aku membelikanmu udang, Calixta,” ujar Bobinôt sambil mengeluarkan kaleng dari saku celananya dan meletakannya di atas meja.
“Udang! Oh Bobinôt! Kau baik sekali!” jawabnya sembari mendaratkan kecupan di pipi suaminya, “Terima kasih, kita akan berpesta malam ini! Umph-umph!”
Bobinôt dan Bibi kembali tenang dan merasa senang kembali. Ketika mereka bertiga duduk di meja makan mereka bercanda dan tertawa dengan keras hingga mungkin semua prang bisa mendengar mereka termasuk Alcée Laballire,
IV
Pada malam itu Alcée menuliskan surat untuk istrinya, Clarisse. Sebuah surat cinta yang berisikan kecemasan Alcée. Dia menyuruhnya tidak perlu buru-buru pulang jika dia dan bayi mereka suka berlama-lama di Biloxi, lebih baik tinggal satu bulan lagi. Dia baik-baik saja meskipun merindukan mereka. Dia rela menahan perpisahan mereka lebih lama lagi karena kesehatan Clarisse dan bayi mereka lebih penting.
V
Adapun Clarisse, dia senang sekali menerima surat dari suaminya. Dia dan bayi itu baik-baik saja. Masyarakat di sana sangat ramah; banyak dari teman dan rekan lamanya ada di sana. Ini pertama kali dalam pernikahanya dia merasa kembali bisa menikmati hari-harinya ketika gadis dulu. Setia pada suaminya, hubungan intim mereka adalah sesuatu yang lebih dari sekedar ingin dia nanti untuk sementara.
Pada akhirnya, badaipun berlalu dan semua orang kembali bahagia.
thx
ReplyDelete