Showing posts with label Kumpulan Dongeng Dunia. Show all posts
Showing posts with label Kumpulan Dongeng Dunia. Show all posts

Sunday, June 8, 2014

Cerita Rakyat Kolumbia
 
Dahulu kala tersebutlah sebuah desa yang bernama Takimiya. Di  sana hidup lima orang pemuda dan satu orang adik perempuan mereka.  Seperti dalam kebiasaan masyrakat Takimiya, adik perempuan mereka bertindak sebagai kepala keluarga. Para pria berdatangan dari desa lain ingin melamar gadis itu tetapi dia tidak menginginkan seorang suami. Setiap harinya, gadis itu selalu pergi berenang ke sungai dan satu hari dia hamil. Setiap orang di desa itu bertanya padanya ,”Siapa yang telah menghamilimu?”. Akan tetapi dia tidak mengetahuinya, dia menjawab “Tak ada yang pernah menyentuhku. Sembilan bulan berselang, gadis itu melahirkan seorang bayi laki-laki. Bayi yang dilahirkannya selalu menangis tak peduli siapapun yang menimang dan menjaganya. Salah seorang kakak gadis itu berkata padanya: “Letakkan bayi itu di luar rumah.” Sesuai dengan nasihat kakaknya, mereka meletakkan bayi itu di luar rumah dan sang bayipun berhenti menangis.
Keesokan harinya, gadis itu juga  membawa bayinya keluar rumah. Seperti kemaren, bayinya berhenti menangis. Dia melakukan ini selama berulang-ulang. Dikisahkan suatu ketika saat berada diluar rumah bayinya menelan sesuatu yang berlemak terlihat dari mulutnya dipenuhi oleh minyak. Setelah dia memeriksa mulut bayinya, dia berkesimpulan bayinya memakan daging anjing laut yang dijadikan sate. Gadis itu bertanya-tanya siapa yang memberi bayinya makanan itu karena dia tidak melihat seseorangpun disekitar tempat dia meninggalkan bayi itu. Karena khawatir, dia membawa bayinya masuk ke dalam rumah. Sesampai mereka di dalam rumah, bayi itu kembali menangis sehingga tak ada seorang pun bisa tidur karena tangisnya. Kakaknya kembali berkata kepada gadis itu, ”Bawa anakmu ini ke luar dan jagalah dia di sana.” Anak itu tumbuh dengan cepat. Dia tetap berada diluar rumah di awasi oleh ibunya. Akan tetapi, pada siang hari ibunya meninggalkan dia di sana sendirian.
Ketika senja datang dia pergi ke tempat bayi itu. Dia duduk disamping bayi itu menjaganya dan tidak melihat siapapun di sekitar mereka. Secara tiba-tiba sesosok pria berdiri di hadapannya. “Kau adalah istriku. Apa kau tahu itu? Bayi itu adalah bayiku.” Gadis itu terkejut dan malu. “Bersiap-siaplah, kita berdua akan segera pulang ke rumahku.” Gadis itu diam terpaku dan berkata dalam hati. “Apa yang akan dikatakan oleh saudaraku.
“Kau takkan tersesat. Kau akan kembali pada mereka.”
Kemudian gadis itu menjawab: “Baiklah”.
Mereka berduapun berangkat dari tempat itu.
“Kita berdua akan pergi ke dasar sungai.” Ungkap pria itu
“Apa aku takkan kehabisan nafas?”
“Kau akan baik-baik saja. Ketika kita menyelam, berpeganglah ke pinggangku. Tutuplah matamu sampai aku menyuruhmu membukanya.”
Gadis itu melakukan perintah sang pria. Dia merasa dia tengah melintasi arus dan menyelam ke dalam air. Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah perkampungan yang tidak berair sama sekali. Ternyata, suaminya itu adalah putera orang kaya. Dia merupakan putera bungsu dari lima bersaudara.
Putera mereka tumbuh besar dengan sangat cepat. Anak itu selalu ingin memiliki anak panah. Dia menyuruh ibunya membuatkan untuknya sebuah anak panah. Sang ibu berkata kepada anaknya: “Pamanmu di kampung ibu memiliki banyak anak panah.” Anak itu menjawab: “Bagaimana kalau kita berdua pergi menjemput anak-anak panah itu?” Akan tetapi ayahnya menyarankan: “Biarlah ibumu pergi sendiri ke sana. Kau di sini bersama ayah. Kita berdua akan pergi ke sana kapan-kapan.”
Keesokan harinya dia bersiap-siap dan berangkat ke kampungnya. Untuk melintasi sungai dia mengenakan pakaian berupa kulit berang-berang. Sementara itu, di kampungnya, kakak-kakaknya melihat seekor berang-berang berenang di dalam sungai. Mereka memburu berang-berang itu menggunakan sebuah kanoe. Gadis yang menyamar jadi berang-berang itu berenang menuju tepi sungai. Mereka menembakinya dengan anak panah mereka. Mereka yakin mereka berhasil menembaki berang-berang itu; tetapi dia tidak muncul lagi dan semua anak panah menghilang begitu saja. Berang-berang tersebut muncul kembali dan mereka mengikutinya dengan kanoe. Banyak orang menembakkan anak panah padanya tapi semuanya meleset. Berang-berang itu menghilang ke dama air. Secara diam-diam, kakak sulungnya mengikuti berang-berang itu hingga dia melihatnya menepi ke tepi pantai. Pria itu segera mengejar dan mendekati berang-berang tersebut. Akan tetapi dia hanya mendapati seorang wanita di sana. Ketika dia melihat wanita itu, dia segera mengenalinya. Wanita itu merupakan adiknya yang telahlama hilang.
“Ini adalah aku kakakku. Aku bepergian ke tempat ini. Ini anak panah yang kalian tembakkan padaku.”
Pria itu merasa menyesal ketika dia melihat banyak tumpukan anak panah di sana.
“Puteraku menyuruhku ke sini mencari anak-anak panah. Dia selalu menginginkannya”.
Dia menjemur kulit berang-berang itu. Kemudian mereka pergi dari tempat itu.
“Aku akan kembali ke suamiku. Aku hadiahkan padamu kulit berang-berang ini. Kau bisa menjualnya. Suamiku seorang pangeran sungai. Kami tinggal tidak jauh dari sini. Kau bisa melihat rumah kami di dasar sungai ketika pasang surut.” Pria itu melepas adiknya ketika dia kembali ke dasar sungai. Ketika air separuh tubuhnya dia menyelam ke dalam sungai. Sebelum menyelam dia berpesan pada kakaknya itu: “Besok pagi kau akan mendapati seekor paus di tempatmu mendarat.”
Esok harinya, pria itu bangun sebelum subuh kemudian dia berangkat menuju pantai. Di sana dia mendapati seekor paus seperti yang dikatakan adiknya. Bersama dengan saudaranya, mereka memotong-motong paus itu dan membagikannya kepada teman-teman mereka di kampung. Adapun adiknya, dia kembali pulang ke suami dan puteranya. Lengannya berubah menjadi tsLtsil dan berwarna hitam. Setelah itu ular kecil sering muncul dan menghilang di permukaan sungai. Para penduduk desa akan menembakkan anak panah mereka kepada ular tersebut. Keesokan harinya dua paus akan muncul di tepi pantai. Perempuan dan keluarganya menghadiahkan paus itu kepada kerabat mereka sebagaimana mereka menghadiahkan anak panah mereka untuk anaknya.

Translated from Folklore Columbia: The Woman Who Marries The Merman
Cerita Rakyat Yunani
 
Diceritakan pada zaman dahulu di setiap bulan may, bukit-bukit Eurostena tersenyum memamerkan keindahannya. Setapak pinus dan pohon-pohon cemara di Trikkala berbunga, semak berduri tumbuh dengan indah, pakis bermekaran berwarna kuning, aroma harum bunga-bunga liar tercium di udara yang bersih, dan semua penduduk negeri itu diliputi oleh suka cita.
Meskipun telah bertahun-tahun berlalu, hari itu belumlah terlupakan. Kisah ini yang pertama kali dikisahkan oleh Vassos dari Trikkala diceritakan dari generasi ke generasi di seluruh negeri itu dan diingat sepanjang masa. Kisah pesta pernikahan antara Nearidos, pemuda kaum peri, dan Neraida, pemudi kaum peri.
Setelah mengadakan penyelidikan selama tiga puluh tiga tahun, Vassos dari Trikkala pada akhirnya menemukan Neraidovotano tanaman peri yang membuatnya bisa berhubungan dengan dunia peri. Dia mengetahui rahasia-rahasia peri; dia sering menolong para pemuda manusia yang jatuh cinta dengan gadis-gadis peri. Pada hari ini, tanggal tiga Mei, tepat di tengah hari, Vassos terlihat di atas bukit Trikkala di antara pohon-pohon pinus yang dihembus angin seperti burung-burung berterbangan. Secara tiba-tiba, para penduduk desa melihatnya menghilang secara mendadak.
Tiga hari kemudian, dia kembali muncul di desa Trikkala. Para penduduk desa mengerumuninya mendengarkan cerita tentang apa yang telah dia alami.
“Aku menghadiri pesta pernikahan peri,” ungkapnya. “Semua peri mengetahui pesta itu. Peri-peri penghuni bukit-bukit Trikkala dan pegunungan Eurostena juga mengetahuinya. Mereka mengundangku; beberapa peri datang menemuiku ketika aku minum di telaga peri. Dari jauh aku mendengar bunyi drum, biola dan musik merdu dari alat musik yang tak ku kenal. Kemudian awan di atasku berubah menjadi sebuah kereta, awan itu menukik turun ke tempatku berdiri sementara musik itu terus bergema merdu hingga tubuhku diliputi oleh kereta awan tersebut. Di kereta awan itu, aku melihat banyak wanita cantik; mereka membawaku melintasi Teluk Korintus dan lautan, serta menyeberangi padang-padang hijau dan lautan biru.”
Vassos tidak tahu pasti di mana kereta awan itu mendarat, tapi dia menduga itu mungkin di gunung Pendos di Thessaly. Di puncak gunung itu, di tempat tak ada manusia pernah menjejakinya berdiri istana peri berkilau keemasan di bawah sinar matahari dengan menara peraknya yang menembus awan.
Di dalam istana megah itu terdapa ruangan-ruangan panjang berwarna-warni, dinding istana yang dihiasai ukiran-ukiran dari bunga dipadati oleh tamu yang tak terhitung jumlahnya. Vasso tak bisa menggambarkan kecantikan para kaum peri ini, karena wajahnya, meski mirip dengan manusia, tak bisa dibedakan, dan pakaian mereka seperti buih susu melampaui semua penggambaran lewat kata-kata.
Cahaya lampu warna-warni berkerlap kerlip di seluruh istana, secara tiba-tiba berubah jadi keemasan, lalu merah mawar, ungu, merah tua, hijau dan lavender. Senandung merdu terdengan dari musik harpa dan biola. Para peri menari bersama, ketika menari gerakan mereka berubah seiring dengan perubahan warna lampu. Semua tamu tamu tertawa dan bersuka cita. Di setiap bilik istana, seribu lilin dinyalakan di atas kandil kristan berpoles emas, sementara itu sebuah cermin perak berdiri memancarkan cahaya lilin-lilin itu. Asap aroma mawar berhembus di seluruh sisi istana menebarkan aroma wangi di udara.
Di salah satu ruangan besar itu, sebuah meja kristal berdiri dan diatasnya dihidangkan makanan peri di atas nampan-nampan perak. Sulit dikatakan dari apa makanan-makanan itu terbuat. Yang Vasso tahu hanya makanan itu berwarna putih dan bertekstur lembut serta ringan. Ketika ditelah makanan itu langsung lumer di lidah meninggalkan beraneka rasa, rasa yang takkan pernah bisa dilupakan.
Pesta itu berlangsung selama tiga hari berturut diringi musik, jamuan dan tarian. Neraida dan juga Neraidos sangat rupawan melebihi seluruh kerupawanan kaum manusia. Di kepala mereka tersemat mahkota emas; pakaian mereka terbuat dari benang perak dengan segala jenis permata berkilaun di gaun itu ketika mereka bergerak. Penganten pria dan wanita itu selalu duduk di atas punggun kuda selama pesta berlangsung. Makanan dihidangkan kepada mereka di atas nampan emas. Para peri terus bernyanyi, menari, menebarkan kelopak bunga, dan berlari-lari melingkarkan pita di tengah-tengah mereka.
Tanpa henti terdengar senandung merdu irama musik, gemerincing gelas ketika para peri bersulang bersama. Para tamu meminum nektar merah buah cherri dari gelas kristal yang berukir bunga dan wajah-wajah peri. Pada hari ketiga, setelah para tamu bersulang untuk kesehatan kedua mempelai peri, semua gelas kristal tiba-tiba pecah seiringan dengan tubrukan gelas-gelas kristal pesta itu berakhir.
“Aku tak ingat bagaimana itu terjadi,” kata Vasson mengakhiri ceritanya, “namun pada siang harinya aku mendapati diriku berada kembali di bukit-bukit cemara Trikkala, berbangga diri karena telah menjadi tamu undangan pada pesta pernikahan peri.”

Diterjemahkan dari Folklore Yunani: A Fairy Wedding
Cerita Rakyat Inggris
 
Malam itu sangat gelap dan angin berhembus kencang. Ombak besar bergulung menghempas tepi pantai teluk St. Ives. Ombak itu tidak tampak seperti biasanya. Tidak ada kapal yang berlayar di teluk itu, bahkan tak ada satupun perahu nelayan yang mengapung dipermukaan laut. Beberapa kapal dagang telah berangkat menuju Hayle, atau beristirahat  di dermaga St. Ives. Kapal nelayan ditambat di tepi pantai berpasir kering.
Bergerak di atas bebatuan yang menjorok ke laut dari arah timur pantai tampak seberkas cahaya. Cahaya itu melintasi hamparan buih lautan menuju tepi karang terjal. Maju mundur cahaya itu melintas di tempat itu.
“Ha!” ujar seorang pelaut tua menarik nafas, ketika dia melihat ke laut; “malam yang menyedihkan, malam yang menyedihkan! Wanita bangsawan dan Lenteranya telah kembali.”
“Wanita bangsawan dan Lenteranya,” ulangku; “apa maksudmu?”
“Cahaya di luar sana—“
“Itu berasal dari lentera nelayan yang mungkin sedang mencari barangnya yang hilang,” ujarku memotong pembicaraan pria itu.
 “Tak pernah ada seorang nelayan maupun kelasi kapal pergi ketempat itu malam hari begini,” jawab pelaut itu.
“Lalu apa itu?” tanyaku penasaran.
“Belum pernah dengar cerita wanita bangsawan dan lenteranya?” tanya seorang wanita yang berdiri di dekat kami.
“Tidak.”
Tanpa basa-basi, wanita itu segera menceritakan cerita itu padaku. Aku terpaksa mengurangi ceritanya yang melompat-lompat itu untuk membuat cerita ini teratur dan juga membuat cerita panjangnya menjadi seringkas mungkin.
Pada tahun itu—ada banyak kapal karam di tengah laut. Waktu itu merupakan masa-masa berkabung. Lebih dari sebulan badai menyerang pulau itu, setiap harinya badai menghempas bertambah kencang dan parah. Suatu malam menjelang senja sebuah kapal tiba-tiba muncul menguak kabut petang di tengah laut berbadai. Keadaan kapal itu ketika ditemukan berada di luar harapan selamat. Para kelasi kapal, begitu melihat mereka menepi ke pantai, bersiap segera berusaha menyelamatkan kapal dan juga menyelamatkan diri mereka sendiri. Amuk gelombang dari barat menggempur kapal itu ketika para awak kapal menambatkan jangkar; kapal terombang-ambing bersiap-siap karam. Tiba-tiba, ia menghantam karang dan lambungnya pecah memancing ombak menyapu permukaan geladaknya. Beberapa orang tewas saat kapal itu pecah dan karam.
Meskipun badai deras menghempas pantai, sebuah perahu yang dikendarai oleh para nelayan St. Ive berangkat dari dermaga menuju lautan yang tengah mengamuk. Keterampilan mereka ketika melaut sedikit menyemangati mereka, dengan semangat teguh dan keinginan untuk menyelamatkan hidup orang lain, mereka berlayar kearah kapal yang tadi terdampar.
Para nelayan itu mendayung perahu mereka ke arah kapal. Kapal itu tidak bisa didekati, kemudian mereka memanggil para awak kapal melemparkan tali ke arah mereka agar mereka bisa mendarat ke perahu mereka. Beberapa awak kapal melemparkan tali dari geladak kapal dan menyelamatkan diri mereka ke atas perahu nelayan.
Kemudian sekelompok penumpang dan awak kapal muncul di geladak kapal mengelilingi seorang wanita bangsawan yang menggendong seorang bayi di pelukannya. Mereka menyuruhnya menyerahkan bayi itu kepada seorang awak kapal agar dia bisa membawanya ke perahu nelayan sementara wanita itu menyusul di belakangnya.
Akan tetapi wanita itu tidak mau berpisah dengan bayinya. Tak lama berselang kapal itu pecah dua dan karam. Wanita bangsawan dan bayinya itu tenggelam ke dalam laut. Nelayan berhasil menarik wanita itu keluar dari cengkraman air laut.
Wanita itu pingsan dan para nelayan membawanya ke perahu tanpa bayinya. Bayi itu terjatuh dari genggamannya dan hilang tenggelam dalam lautan mengegelegar.
Banyak penumpang dan awak kapal selamat berkat pertolongan nelayan pemberani ini. Mereka membawa mereka dengan selamat menuju St.Ives. Sebelum pagi menjelang, pantai St. Ive dipenuhi oleh serakan bangkai kapal yang telah tenggelam.
Kehidupan kembali mengalir di nadi wanita itu; tetapi mengetahui bayinya telah tiada, kehidupan itu kembali sia-sia. Tak lama berselang, wanita itu meninggal menyusul anaknya. Penduduk St Ives memakamkan wanita itu di halaman gereja. Namun, tak lama setelah dimakamkan penduduk melihat sesosok wanita bangsawan melintas di halaman gereja berjalan ke arah pantai lalu menuju pulau. Di sana dia menghabiskan berjam-jama di tengah bebatuan mencari bayinya, dan karena tidak menemukannya dia bersedih dan kembali ke kuburannya. Ketika malam sangat gelap, dia akan pergi ke sana dengan menenteng sebuah lentera; tapi jika malam terang dia tidak membawanya. Kemunculan wanita bangsawan dan lenteranya itu dianggap sebagai pertanda akan datangnya bencana di pantai itu.

Diterjemahkan dari Folklore Inggris: The Lady and The Lantern
Cerita Rakyat Inggris
 
Seorang ibu rumah tangga yang hidup dengan makmur tinggal di sebuah bukit di perbatasan Zennor Church-Town dan St Ive. Suatu malam, seorang pria berkunjung ke gubuknya dan memberitahu padanya bahwa dia telah memperhatikan kebersihan wanita itu serta kemampuanya merawat sesuatu. Dia mengatakan dia memiliki seorang anak yang ingin dia besarkan dengan penuh kasih sayang dan dia ingin wanita itu mengasuhnya. Dia akan dibayar mahal untuk pekerjaanya itu; pria itu memperlihatkan padanya sejumlah koin emas yang sangat banyak. Melihat koin emas yang banyak itu, wanita itu setuju untuk merawat anak dari pria yang berkunjung ke rumahnya itu. Segera dia berangkat bersama pria itu pergi menjemput anak yang akan dia asuh. Ketika mereka tiba di sisi bukit Zennor, pria itu menyuruh wanita tersebut menutup matanya dan wanita itu setuju. Ketika mereka berhenti, penutup mata dilepas dari mata wanita tersebut, dan dia mendapati dirinya sedang berada di sebuah ruangan megah, di ruangan itu meja-meja disusun indah dan diatasnya terdapat benda-benda berharga seperti permata, buah-buahan yang tampak lezat dan piala-piala berisi anggur. Dia dipersilahkan menikmati jamuan itu. Dengan agak canggung, wanita itu menikmati hidangan yang disuguhkan tersebut. Dia heran bahwa perjamuan sebesar itu hanya dihadiri oleh dia dan sang pria tersebut. Setelah menikmati hidang yang sangat lezat itu, bell perak diruangan itu berdentang dan sekelompok pelayan masuk membawa keranjang bayi yang ditutupi kain sutra di dalamnya tidur seorang bayi paling cantik yang pernah dia lihat. Dia diberitahu anak itu harus diasuhnya dengan beberapa persyaratan yang harus dia patuhi. Dia tidak boleh mengajarkan anak itu Doa Bapa Kami; dia tidak boleh memandikannya setelah matahari terbenam akan tetapi bayi itu harus dimandikan setiap pagi dengan air yang akan dia temukan di sebuah kendi putih di ruangan bayi itu dan tak ada yang boleh meyentuh kendi itu selain dirinya sendiri; dia harus berhati-hati dan tidak boleh membasuk mukanya dengan air dalam kendi itu. Kemudian, bagaimanapun keadaanya, dia harus memperlakukan anak itu seperti anaknya sendiri. Ketika meninggalkan tempat itu, mata wanita itu di tutup kembali. Dengan berjalan susah payah dibimbing oleh ayah yang misterius itu wanita tersebut kembali kerumahnya. Ketika tiba di jalan raya, tutup matanya dilepas dan dia mendapati seorang bayi mungil di genggamannya, tapi bayi tidak tampak cukup bagus seperti sebelumnya—bayi itu memiliki mata runcing dan tajam. Namun, perjanjian tetaplah perjanjian; pada akhirnya dia memperlihatkan bayi asuhnya itu kepada suaminya sambil menceritakan pengalaman yang telah dia alami. Bayi itu tinggal bersama pasangan bahagia tersebut selama bertahun-tahun. Mereka tidak pernah menginginkan ini; tetapu daging dan anggur selalu tersedia di meja makan mereka. Begitu pula dengan segala perlengkapan bayi itu yang selalu tersedia setiap kali dibutuhkan; pada setiap harinya di kamar bayi asuh mereka selalu ada kendi ajaib putih berisi air mandi bayi. Bayi itu tumbuh menjadi anak yang kuat dan tangguh. Dia sangat  liar tapi sangat mudah ditemukan; dia juga memiliki semacam rasa sayang kepada wanita itu yang dia panggil dengan sebutan “Big Mammy.” Terkadang wanita itu menduga anak asuhnya gila karena anak itu sering berlari, melompat, dan berteriak-teriak sendiri seolah dia tengah bermain bersama anak-anak lain padahan tak ada seorangpun di dekatnya. Wanita itu tidak pernah bertemu lagi dengan ayah anak asuhnya semenjak dia memberikan anak itu padanya; namun uang upah seperti yang dijanjikan selalu diberikan secara misterius kepada mereka. Suatu pagi ketika sedang memandikan anak asuhnya, wanita, karena sering melihat air itu selalu membuat wajah anak tersebut berkilauan, tergoda untuk membasuh mukanya dengan air itu agar dia bisa terlihat lebih cantik. Menarikkan perhatian anaknya terhadap burung yang sedang terbang, wanita itu memercikkan air itu ke wajahnya dan banyak masuh ke dalam matanya. Ketika air kendi tersebut menciprat matanya, dia menutup matanya dengan sendirinya, dan saat dia membuka mata kembali, dia meliha banyak orang-orang kerdil berada di sekelilingnya bermain dengan anak asuhnya. Dia tidak mengucapkan sepatah katapun, meski dia merasa sangat takut sekali. Setiap harinya, dia melihat dunia orang-orang kerdil berbaur dengan manusia biasa. Kini dia tahu teman bermain anak asuhnya, seringkali dia ingin berbicara dengan makhluk-makhluk gaib yang lucu itu; tapi dia ingin tetap menjaga rahasianya dan tetap diam.

Pada waktu bersamaan, pencurian yang mengherankan terjadi di Pasar St Ive dari waktu ke watu. Walaupun semua barang telah dijaga dengan tekad, selalu saja ada pencurian namun tidak ada tanda-tanda pencuri ditemukan ditempat itu. Suatu hari, wanita itu pergi berbelanja ke pasar St Ive, dan dia terkejut karena di sana dia melihat ayah dari anak asuhnya. Tanpa menunggu lama dia berlari ke arah pria itu—yang saat itu sedang memasuk buah-buahan ke dalam sakunya dengan diam-diam— dan berbicara padanya.
“Jadi kau bisa melihatku, iya kan?”
“Benar, dan aku yakin aku juga mengenalmu” jawab wanita itu.
“Tutup matamu yang ini,” jawab pria itu menunjuk ke arah mata kiri wanita tersebut.
“Kau masih bisa melihatku?”
“Iya, ku katakan padamu, aku juga mengenalimu,” ulang wanita itu.
“Air peri bukan untuk manusia bangsamu;
Kau telah kehilangan mata, anak, dan dirimu,” ungkap pria itu.
Semenjak itu mata sebelah kanan wanita itu menjadi buta. Ketika dia sampai di rumah anak asuhnya telah hilang. Dia sangat bersedih sekali, dan tidak pernah melihat anak asuhnya lagi. Akhirnya, pasangan yang semula bahagia ini menjadi jatuh miskin dan melarat.

Diterjemahkan dari Folklore Inggris: Nursing A Fairy

Tuesday, June 3, 2014


Ambrogio adalah seorang pemuda yang suka berpetualang. Terlahir dan besar di Italia, dia selalu ingin berpetualang ke Yunani untuk meramal nasibnya kepada Orakel (Peramal Yunani) Delphi. Saat dia beranjak dewasa, Ambrogio pergi berlayar dengan sebuah kapal hingga mencapai perbatasan barat Yunani, dekat Astakos. Kemudian, dia berpetualang ke arah timur hingga pada akhirnya dia tiba di kota Delphi.

Delphi adalah kota suci di mana didirikan kuil agung untuk Apollo, dewa matahari. Kota ini juga merupakan kampung halaman Phytia seorang Orakel terkenal. Biasanya Phytia akan bersemedi di dalam kuilnya dan membacakan ramalan yang diilhamkan oleh Apollo,  kepada mereka yang mendatangi Orakel tersebut.

Sesampainya di kuil itu, Ambrogio hendak berbicara mengutarakan keinginannya kepada Phytia. Tapi Pythia hanya mengatakan beberapa patah kata yang tidak jelas: “Kutukan, Rembulan. Darah akan tertumpah.”

Setelah mendengar semua itu, Ambrogio menjadi bingung, dan tidak dapat tidur di malam itu. Dia terus terjaga di luar kuil, memikirkan maksud dari perkataan Pythia yang tadi ia dengar. Ketika matahari terbit, Ia sadar bahwa ia tidak tertidur sepicingpun malam itu. Pada saat dia dia kembali menuju kota, dia melihat seorang wanita cantik bergaun putih berjalan menuju kuil. Segera dia menuju wanita tersebut dan berkenalan. Wanita itu bernama Selene, juga gadis penjaga kuil yang juga saudari dari Sang Orakel.

Selama beberapa hari berikutnya, setiap subuh pada pagi harinya Ambrogio bertemu dengan Selene di depan kuil sebelum dia melakukan tugasnya sebagai penjaga kuil. Lambat laun, merekapun saling jatuh cinta.

Pada hari terakhirnya berada di Yunani, Ambrogio mengajak Selene menikah dan ikut pulang bersamanya ke Italia. Wanita itupun menyetujui ajakannya. Ambrogio mengatakan pada Selene ia akan mempersiapkan segala sesuatunya serta berjanji akan menemuinya di luar kuil tempat mereka biasa bertemu esok pagi.

Apollo, dewa matahari telah mengawasi mereka sejak lama. Apollo juga menaruh hati pada Selene yang cantik dan menjadi murka karena Ambrogio telah datang ke kuil serta mengambil salah satu gadis penjaga kuil miliknya tersebut. Saat matahari terbenam pada hari itu, Apollo muncul di hadapan Ambrogio dan mengutuknya. Semenjak hari itu dan seterusnya, cahaya matahari yang mengenai Ambrogio meskipun sedikit akan membuat kulitnya terbakar.

Ambrogio menjadi putus asa. Dia berencana pergi meninggalkan Yunani dengan Selene pada esok paginya, namun karena kutukan Apollo ia tak dapat menemui Selena ketika matahari terbit seperti yang telah ia janjikan. Karena tidak menemui jalan keluar, ia pergi menuju gua  yang membawanya kepada Hades dan meminta perlindungan kepadanya. Hades, dewa penguasa dunia bawah, mendengarkan semua cerita Ambrogio dan memberikannya penawaran. Jika dia bisa mencuri busur perak Artemis untuknya, Hades berjanji akan memberikan  dia serta Selene perlindungan di dunia bawah. Dalam kesepakatan itu, Hades juga memberikan busur kayu ajaib besera 11 anak panah yang akan dia gunakan untuk berburu. Dia harus mempersembahkan hasil buruannya kepada Artemis untuk menarik kepercayaanya sehingga ia bisa mencuri busur perak tersebut. Sebagai jaminan, Ambrogio harus meninggalkan jiwanya di dunia bawah hingga ia kembali bersama busur perak Artemis. Seandainya dia tidak kembali bersama busur itu, ia akan tinggal selamanya bersama Hades dan takkan pernah kembali ke Selene. Tidak mempunyai pilihan, Ambrogio menyutujui tawaran itu.

Ambrogio tidak bisa memberitahu Selene apa yang telah terjadi padanya. Dia ingin menuliskan parkamen untuknya tetapi dia tidak memiliki alat untuk menulis. Lalu dengan menggunakan panah pemberian Hades, dia membunuh seekor angsa. Dengan menggunakan bulu angsa tersebut sebagai pena dan darahnya sebagai tinta, Ambrogio menuliskan surat untuk Selene mengatakan dia tidak bisa menemuinya tapi dia akan berusaha mencari jalan keluar agar mereka bisa bersama lagi. Dia meninggalkan surat itu di tempat mereka akan bertemu lalu pergi dari tempat itu menyembunyikan diri dari cahaya matahari.

Selene merasa merasa sangat kecewa setelah dia menemukan dan membaca surat itu. Tidak ingin memancing kemarah Apollo lebih jauh lagi, Selene kembali melakukan tugasnya di kuil seperti biasanya. Esok paginya, Selene kembali ke tempat mereka akan bertemu, tapi sama seperti sebelumnya dia tidak mendapati Ambrogio di sana. Dia menemuka sehelai parkamen lagi bertuliskan darah. Setelah dibukanya, ternyata Parkamen itu adalah puisi cinta dari Ambrogio.

Setiap pagi selama 44 hari berikutnya, Ambrogio terus membunuh angsa dan menggunakan darahnya untuk menulis puisi cinta untuk kekasihnya. Setelal mengeringkan darahnya, dia mempersembahkan angsa buruan itu kepada Artemis, dewi pemburu dan dewi bulan yang juga merupakan saudari Apollo. Dia berharap meskipun ia bisa mencuri busur itu, Artemis akan merasa tersanjung karena persembahannya dan membujuk saudaranya untuk melenyapkan kutukan yang ia berikan pada dirinya. Pada hari ke 45, Ambrogio hanya memiliki satu anak panah yang masih tersisa. Ketika menembakkan anak panah itu, tembakannya meleset dari angsa yang akan dipanahnya. Kehabisan panah, dia tidak memiliki darah untuk menulis puisi untuk Selene dan angsa buruan untuk dipersembahkan pada Artemis. Bersimpuh ke tanah, dia merasa sedih, kecewa, dan putus asa.

Melihat kemampuannya berburu serta semua persembahan yang telah Ambrogio berikan kepadanya, Artemis muncul di hadapanya. Dia memohon kepada Artemis untuk meminjamkannya anak panah dan busur miliknya agar dia bisa membunuh satu ekor angsa lagi dan menuliskan surat terakhir buat Selene.

Artemis yang menaruh iba padanya meminjamkanya busur perak dan anak panah. Ambrogio mengambil busur itu, dengan putus asa dia berlari menuju gua dimana dia bertemu Hades. Mengetahui apa yang terjadi, Artemis murka dan mengutuknya juga. Dia mengutuk kulit Ambrogio akan terbakar ketika tersentuh perak. Ambrogio menjatuhkan busur perak Artemis dan tersungkur ke tanah kesakitan.

Artemis sangat marah dan kecewa karena kebohongan Ambrogio.  Namun Ambrogio memohon ampun padanya dan menjelaskan dia terpaksa menerima tawaran Hades karena kutukan Apollo dan karena cintanya yang besar untuk Selene. Dia sangat menyesal terpaksa melakukan itu karena tidak ada pilihan lain.

Mendengar cerita sedihnya itu, Artemis kembali menaruh iba padanya dan memberinya satu kesempatan lagi. Dia menawarkan untuk membuat Ambrogio menjadi pemburu yang hebat sepertinya, dengan kecepatan dan kekuatan seperti dewa dan gigi taring untuk mengisap darah binatang yang bisa dia gunakan untuk kembali menulis puisi cinta buat Selene. Sebagai ganti akan keabadian yang akan dia berikan, Artemis membuat kesepakatan yang harus dipatuhi Ambrogio. Dia dan Selene harus pergi dari kuil Apollo dan hanya memuja Artemis selamanya. Karena Artemis merupakan seorang dewi perawan dia ingin seluruh pengikutnya tetap suci dan tidak menikah. Oleh karena itu, Ambrogio dan Selene tidak boleh saling menyentuh, berciuman, dan memiliki anak.

Ambrogio menyetujui kesepakatan itu. Setidaknya, dia dan Selene masih bisa tetap bersama. Dia membunuh seekor angsa untuk menuliskan surat pada Selene. Di surat itu dia menyuruh Selene menemuinya di sebuah kapal di dermaga. Menjelang subuh pada keesokan hari, Selene menemukan surat itu dan lari dari kuil itu sebelum matahari terbit agar tidak ketahuan oleh Apollo.

Ketika Selene tiba di dermaga, ia mendapati kapal seperti yang dikatakan Ambrogio dalam suratnya namun tidak ada Ambrogio. Selenepun pergi mencari Ambrogio ke dalam lambung kapal. Di situ dia menemukan sebuah peti mati dan sebuah surat dari Ambrogio yang memberitahunya memerintahkan nahkoda kapal segera berlayar, dan juga memberitahunya agar membuka peti mati itu ketika matahari terbenam. Dia melakukan seperti apa yang ada pada surat itu, ketika matahari terbenam dia membuka peti mati tersebut dan mendapati Ambrogio dalam keadaan hidup dan sehat.

Pasangan itu berlayar menuju Efesus, di sana mereka tinggal di sebuah gua ketika siang hari dan memuja Artemis setiap malamnya di kuil yang mereka dirikan untuk dewi itu. Mereka hidup bahagia bersama selama bertahun-tahun tanpa pernah bersentuhan, berciuman dan memiliki anak
 
Setelah sekian tahun berlalu, Ambrogio masih tampak tetap muda karena keabadian yang diberikan Artemis kepadanya. Tapi tidak dengan Selene, dia tetap menua sejalan dengan usianya layaknya manusia fana. Pada akhirnya dia jatuh sakit dan sekarat. Ambrogio sangat sedih karena dia tak bisa bergabung dengan Selene di alam kematian karena dia telah menyerahkan jiwanya  pada Hades. Pada suatu malam, dia pergi berburu ke hutan dan mendapati seekor angsa cantik berwarna putih bersih sedang berenang sendirian di danau. Dia membunuh angsa itu dan mempersembahkannya pada Artemis, memohon padanya agar Selene juga diberikan keabadian agar mereka bisa tetap bersama selamanya.

Artemis muncul di hadapan Ambrogio.  Sebagai balasan atas kesetiaan dan penyembahan yang telah Ambrogio berikan selama ini, Artemis memberinya satu penawaran terakhir. Artemis berkata pada Ambrogio bahwa dia boleh menyentuh Selene hanya untuk satu kali ini untuk meminum darahnya. Dengan melakukan ini, Ambrogio akan membunuh tubuh fana Selene tapi semenjak itu dia akan berubah abadi karena darahnya yang telah bercampur dengan darah Ambrogio. Dan dengan darah itu, mereka bisa memberikah kehidupan abadi bagi siapapun yang mau meminumnya. Pada mulanya Ambrogio menolak melakukan ini, tetapi setelah dia menceritakannya pada Selene, wanita itu meminta Ambrogio melakukan itu agar mereka tetap bersama selamanya. Setelah meyakinkan dirinya, Ambrogio menggigit leher Selene dan menghisap darahnya agar bercampur dengan darah dalam tubuhnya. Ketika dia meletakkan tubuh pucat itu, tiba-tiba tubuh Selene bersinar terang dan dan terbang tinggi ke langit. Ambrogio menyaksikan jiwa Selene yang kini bersinar terang terangkat ke langit menyatu dengan Artemis di bulan. Ketika jiwa Selene sampai di  sana, bulan memancarkan cahaya yang sangat terang dan cemerlang.

Sejak itu Selene menjadi dewi bulan, dan di setiap malamnya ia akan menyinari bumi dengan cahaya terangnya serta dengan cahaya itu menyentuh Ambrogio kekasihnya serta anak-anak mereka- para vampir baru yang didalam diri mereka mengalir campuran darah Ambrogio dan Selene.

Translated From Vampire Origin Story

Dipercayai bahwa Ambrogio dan Selene merupakan Vampire yang pertama kali ada di bumi.
Di percayai bahwa melantunkan sebuah pujian terhadap Selene bisa merubah seseorang menjadi Vampire. Dalam banyak Kultus pemujaan Vampir, ode atau lagu pujian tersebut bisa dijadikan mantra bagi siapa yang ingin jadi Vampire. Berikut odenya!

 
Ode To The Vampire Mother

Oh goddess of the darkness
Wahai sang dewi kegelapan
mother to the immortal
Ibu dari makhluk abadi
let me be reborn as your child
Perkenankan aku terlahir sebagai anakmu
let your light absorb my own
Perkenankan cahaya terangmu merasukiku

Allow me passage to the darkness
Tunjukkan jalan menuju kegelapan
as from your immortal womb
Menuju rahim abadimu
into the arms of your children
Menuju pelukan anak-anakmu
to whom I will call brother
yang bisa ku panggil saudarku

Oh moonlight
Wahai cahaya bulan
let me be reborn as your child
Perkenankan aku terlahir sebagai anakmu
guide the dark ones to me
Bimbinglah sang kegelapan  padaku
so I shall be born again
Agar aku bisa terlahir kembali

Monday, June 2, 2014

(Cerita Rakyat Skotlandia)
 
Alkisah, salah seorang penduduk desa Unst yang sedang berjalan di pantai berpasir melihat para bangsa duyung sedang menari bersama di bawah sinar rembulan dengan anjing laut. Ketika pria itu mendekat, semua duyung itu tiba-tiba melarikan diri memunguti pakaian mereka lalu berubah wujud menjadi anjing laut serta segera mencebur  ke dalam air laut. Akan tetapi, penduduk desa itu melihat sebuah ekor kulit ikan tergeletak di dekat kakinya; dia memungut ekor itu lalu membawanya pulang dan menyembunyikannya.

Ketika dia kembali ke pantai esok harinya, dia bertemu dengan seorang gadis cantik sedang meratapi pencurian atasnya, yang karenanya dia diasingkan dari teman-temannya di bawah laut dan menjadi penghuni dunia atas. Sia-sia dia memohon tolong untuk mengembalika ekornya tersebut; pria itu terlanjur jatuh cinta dengan gadis tersebut dan tak mau mengembalikannya; tetapi dia menawarkan gadis duyung tersebut untuk tinggal bersama dan menikah dengannya. Puteri duyung, yakin bahwa dia akan menjadi penghuni daratan, menerima tawaran itu. Pernikahan mereka berlangsung dengan hambar dan membuahkan mereka beberapa orang anak. Cinta pria itu terhadap duyung yang telah dinikahinya tersebut sangat dalam tetapi cintanya tidak berbalas manis. Tanpa setahu suaminya, sang duyung sering pergi ke pantai sunyi ketika dia melihat pertanda bahwa akan pertemuan para duyung di pantai. Bersama mereka, dia berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti manusia. Tahun-tahun berlalu, ketika suatu hari salah seorang anaknya menemukan kulit ekor ikan di bawah tumpukan jagung. Terkejut akan apa yang dia temukan, bocah itu berlari menuju ibunya dan menyerahkan ekor itu. Mata duyung itu bersinar gembira ketika dia kembali melihat ekor yang dulu miliknya yang berarti bahwa dia bisa kembali pulang ke bawah laut ke kampung halamannya.

Dia melonjak penuh gembira tapi agak sedih ketika dia melihat anak-anaknya yang akan dia tinggalkan. Setelah memeluk mereka dengan erat, dia berlari dengan cepat menuju tepi pantai. Tak lama setelah itu, sang suami pulang ke rumah dan mengetahu bahwa ekor yang dia sembunyikan telah ditemukan. Segera dia berlari menuju pantai, di sana dia mendapati istrinya telah berubah wujud menjadi wujud aslinya. Sesosok wujud yang juga sama dengan dirinya tiba-tiba muncul menyambutnya dengan riang karena dia berhasil melarikan diri dari suami manusianya. Namun sebelum mencebur ke lautan dalam, dia melayangkan tatapan perpisahan terhadap pria desa malang itu, kesedihan di wajah pria menimbulkan rasa penyesalan di hati sang duyung.

“Selamat tinggal!” ujar duyung itu padanya ,”semoga kau baik-baik saja. Aku sangat menyayangimu ketika aku tinggal di daratan, tapi aku lebih menyayangi suami pertamaku yang tinggal di bawah laut sana.”


 (Cerita Rakyat dari Skotlandia)

Suatu hari ketika seorang Istri petani tengah menidurkan bayinya, dia terkejut karena  seorang wanita cantik bergaun indah tiba-tiba muncul di ruang tamu rumahnya. Dia tak pernah melihat wanita secantik itu di lingkungan tersebut sebelumnya. Istri tersebut tidak mendengar suara ada seseorang masuk ke rumahnya, karena itu dengan terhopoh-gopoh dia menyambut tamu yang tidak dikenalnya itu. Dia mempersilahkan wanita itu duduk, tapi dia menolak dengan sopan. Dia mengenakan pakaian yang sangat mengagumkan; gaunnya seperti dijahit dari daun-daun di taman disulam dengan lingkaran-lingkaran emas yang berkerlap-kelip, dan dikepalanya berterngger sebuah makhota bunga bertahtakan permata. Istri petani tambah terkejut lagi dengan apa yang diminta oleh tamu misterius tersebut. Tamu itu dengan suara merdu seperti irama musik meminta Istri petani itu memberikannya satu bejana penuh bubur gandum. Satu bejana penuh bubur gandum diberikan oleh petani itu kepada tamunya, karena suaminya yang seorang petani dan tukang giling mereka memiliki makanan yang berlimpah. Gadis itu berjanji akan menggantinya; dia juga mengatakan hari dia akan mengganti kembali makanan itu. 

Pada hari yang telah ditentukan untuk mengganti makanan tersebut, seseorang muncul mengantar makanan ke rumah petani tetapi bukan tamu misterius malam itu melainkan seorang perempuan memiliki tubuh yang kerdil dengan suara mendengking; dia juga memiliki pakaian berwarna hijau seperti gadis itu. Setelah menyerahkan makanan itu, dia mendengking, "Selamat menikmati; ini adalah hidangan acar jagung yang lezat." Makanan itu sangat lezat; tapi ada sesuatu yang aneh, sosok pengantar makanan itu berpesan kepada keluarga petani untuk berbagi makanan itu dengan orang lain. Karenanya, keluarga petani memberikan sebagian makanan itu kepada seorang pemuda tetapi dia menolaknya dengan angkuh; tak lama berselang pemuda itu meninggal dunia. Petani dan istrinya yakin dia meninggal dunia karena menolak pemberian makanan itu. Mereka juga sangat yakin bahwa tamu misterius malam itu adalah Ratu Bangsa Peri yang terpaksa keluar dari istanaya karena tidak ada dayang yang bisa dia suruh malam itu. Beberapa malam setelah kunjungan misterius tersebut, ketika petani tukang giling itu akan tidur, dia mendengar seseorang mengetuk pintu; ketika dia membuka pintu dia melihat sesosok kerdil berpakaian serba hijau berdiri di sana. Dengan suara nyaring tapi terdengar sopan sosok itu meminta tukang gilin menyalakan penggilingannya karena dia mau menggiling jagung. Petani tidak berani menolak permintaan itu dan menyalakan penggilinganya. Sosok kerdil itu menyuruh petani kembali tidur dan dia berkata,"tak perlu khawatir, besok kau akan mendapati penggilingan ini seperti ketika yang kau tinggalkan malam ini." Keesokan harinya, tukang giling itu mendapati penggilingannya persis seperti yang dikatakan sosok kerdil tersebut. Begitulah kejujuran bangsa peri.
 

Pengunjung Blog

Komentar Terbaru

My Blog Rank

SEO Stats powered by MyPagerank.Net

Advertisement

Translate

Popular Posts

Visitors

Total Pageviews

Powered by Blogger.

Followers