Suatu sistem filsafat sebenarnya dalam terma tertentu dapat dipandang sebagai suatu bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat dipandang sebagai upaya penyusunan bahasa tersebut. Oleh karena itu filsafat dan bahasa tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini karena bahasa pada dasarnya adalah simbol-simbol, sedangkan tugas utama filsafat adalah mencari makna dari seluruh simbol yang menampakkan diri di alam semesta ini. Bahasa juga adalah alat untuk membongkar seluruh rahasia simbol-simbol tersebut. Dalam perkembangan filsafat, banyak para filosof yang juga menerjunkan diri pada kajian bahasa dalam pemikiran mereka. Berikut merupakan beberapa bentuk kajian bahasa dalam beberapa teori filsafat bahasa.
A. Atomisme Logis Russel
Landasan teori filsafat ini adalah bahasa logika dan corak logika, teori isomorfi (kesepadanan) dan proposisi atomik. Bahasa logika akan membantu aktivitas analisis bahasa karena teknik analisis bahasa yang didasarkan pada bahasa logika akan mampu melukiskan hubungan antara struktur bahasa dan struktur realitas.
Tugas dari filsafat sebenarnya adalah analisis logis yang diikuti oleh sintesis logis tentang fakta-fakta. Analisis logis tentang fakta adalah pemikiran yang didasarkan pada metode deduksi untuk mendapatkan argumentasi apriori yaitu kebenaran uang sudah diketahui kebenarannya sebelum dilakukan percobaan atau penilitian
B. Wittgenstein I: Meaning Is Picture (Makna adalah Gambar)
Meaning is picture adalah teori filsafat bahasa yang dikembangkan oleh Wittgenstein. Menurutnya salah satu sumber kekacauan dalam bahasa filsafat adalah karena tidak adanya tolak ukur yang dapat menentukan apakan suatu ungkapan bermakna ata tidak bermakna.
Bahasa logika yang sempurna bermakna haruslah mengandung aturan sintaksis yang sempurna sehingga mampu mencegah ungkapan-ungkapan bahasa yang tidak bermakna, dan mempunyai simbol tunggal yang selalu bermakna unik dan terbatas keberadaannya.
Inti dari teori ini adalah bahwa terdapat relasi erat antara bahasa (dunia simbol) dengan dunia fakta di luar bahasa. Bahasa menggambarkan realitas dan makna yang terkandung di dalamnya tiada lain merupakan penggambaran suatu keadaan faktual dalam dunia realitas. Semua ucapan kita mengandung satu atau lebih proposisi elementer, proposisi yang tidak dapat dianalisis lagi. Suatu proposisi elementer mencerminkan fakta atomis atau merujuk kepada suatu duduk perkara dalam realitas. Menurut teori ini ada empat hal yang melampaui batas-batas bahasa bermakna yaitu:
a. Subjek
Karena bahasa merupakan gambaran dunia. Subjek yang menggunakan dunia tidak termasuk bahasa.
b. Kematian
Tidak mungkin berbicara tentang kematian. Karena kematian bukan merupakan suatu kejadian yang dapat digolongkan antara kejadian-kejadian lain. Kematian kita seakan-akan memagari dunia kita tetapi kita tdak termasuk di dalamnya. Kematian merupakan batas dunia dan karena tidak dapat dibicarakan sebagai unsur suatu bahasa yang bermakna.
c. Tuhan
Tuhan tidak dapat dipandang sebagai suatu dalam dunia. Tidak dapat dikatakan pula bahwa Tuhan menyatakan diri dalam dunia. Tidak pernah suatu kejadian dalam dunia dapat dipandang sebagai campur tangan Tuhan. Sebab kalau demikian Tuhan bekerja sebagai sesuatu dalam dunia. Akibatnya, kita tidak dapat berbicara tentang Tuhan dengan cara yang bermakna.
d. Bahasa
Bahasa tidak berbicara tentang dirinya sendiri tetapi mencerminkan dunia dan suatu cermin tidak memantulkan dirinya sendiri.
C. Wittgenstein II: Meaning is Use
Meaning is use, suatu bahasa bergantung pada pemakaian jenis bahasa tertentu. Hal ini karena bahasa memiliki banyak fungsi sedangkan kata-kata bagaikan alat-alat yang dipakai dengan banyak cara. Oleh karena itu, perhatian harus dialihkan dari bahasa logikan kepada pemakaian bahasa biasa. Suatu jenis bahasa tertentu terdiri dari kata-kata dan memiliki aturan pemakaiannya tersendiri. Kesalahan makna terjadi karena tidak memperhatikan aturan dalam berbahasa. Dalam penggunaan sehari-hari, bahasa memiliki keanekaragaman sehingga aturannya bermacam-macam.
Menurut Wittgenstein II, Filsafat tidak boleh campur tangan dalm penggunaan bahasa faktual. Ia hanya dapat melukiskan pemakaian itu. filsafat juga tidak dapat memberikan pendasaran kepada pemakaian bahasa. Filsafat harus menghilangkan simpul-simpul bahasa yang rumit. Bahasa dapat menipu manusia. Oleh karena itu, analisis bahasa sangat diperlukan untuk mengetahui apakah memang benar suatu kata dipergunakan sebagaimana mestinya.
Ada tiga hal yang dikemukakan oleh Wittgenstein II mengenai kelemahan bahasa dalam filsafat:
1. Tidak memperhatikan aturan bahasa dalam kehidupan yang lebih luas dan ilmu pengetahuan.
2. Adanya kecendrungan untuk mencari sesuatu yang umum pada semua satuan-satuan kongkret yang diletakkan di atas istilah umum.
3. Sering melakukan penyamaran pengertian melalui istilah-istilah yang tidak dapat dipahami oleh kebanyakan orang.
0 comments:
Post a Comment